Kamis, 16 Juni 2011

anak PLS Belajar Pragmatik ?????

saya mahasiswa PLS FIP
tapi saya belajar banyak tentang sastra, tentang bahasa. dari belajar sendiri (otodidak)sampai karena saking tidak tahunya minta dengan tampang lagak Oon (yahh mungkin aslinya mungkin bloon)dijelasi sama si dy yang kadang tidak mau disebutkan namanya..... heE :-) maaf Mz,,
suatu ketika saya mendapat tawaran bagaimana kalau kamu aku mintai tolong buatkan makalah tentang penelitian pragmatik
dann
taraaa tarara..........
beginilah hasilnya
seorang masiswa PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH yang mencoba Peruntungan di Bidang Bahasa.
maaf jikalau tidak bagus dan kurang baik. namanya saja baru belajar.
heE




PENERAPAN PRAGMATIK DALAM MASAYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial di mana mereka harus bergaul dengan manusia lain yang di sekitarnya. Sejak awal hidupnya dia sudah bergaul sosial dengan terdekat, meskipun bentuk masih satu arah-orang tua berbicara, dan bayi hanya mendengarnya saja. Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada saat yang sama, dia juga sudah dibawa ke dalam kehidupan sosial di mana terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja dia harus hidup bermasyarakat. Ini berarti bahwa dia harus pula menguasai norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini tertanam dalam bahasa sehinngga kempetensi anak tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa (language use). Dengan kata lain, anak harus pula menguasai kemampuan pragmatik.
Suatu informasi pada dasarnya mensyaratkan kecukupan (sufficient) dalam struktur internal informasi itu sendiri sehingga orang yang diajak komunikasi dapat memahami pesan dengan tepat. Persoalan akan muncul, bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami dari konteksnya. Deiksis adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keniscayaan hadirnya acuan ini dalam suatu informasi. Menariknya, meski deiksis ini erat kaitannya dengan konteks berbahasa, namun tidak masuk dalam kajian pragmatik karena sifatnya yang teramat penting dalam memahami makna semantik. Dengan kata lain deiksis merupakan ikhtiar pragmatik untuk memahami makna semantik.
Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan. Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian pragmatik itu?
2. Apa fungsi dari pragmatik?
3. Bagaimana penerapan pragmatik dalam masyarakat sosial?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah di atas tujuan yang diharapkan yaitu, dapat mengetahui apa itu pragmatik, bagaiman funsi serta penerapannya dalam masyarakat sosial.

D. Manfaat Penulisan
Bagi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia,
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan penunjang kegiatan perkulliahan.
2. Makalah ini dapat mambantu kesulitan mahasiswa dalam menemukan referensi yang tepat mengenai kajian Pragmatik.





BAB II
PEMBAHASAN


A. Kajian Teori
Penelitian ini disebut sebagai penelitian sosiopragmatik karena yang dikaji adalah penggunaan bahasa (language use, bukan language usage) di dalam sebuah masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Seperti yang dikatakan Leech ( 1983: ( dalam Deborah 332-333)), sosiopragmatik itu adalah satu dari dua sisi pragmatik, yang sisi lainnya adalah pragmalinguistik. Yang pertama itu berhubungan dengan sosiologi dan yang kedua (pragmalinguistik) berhubungan dengan tata bahasa (grammar), dengan c^tatan bahwa pengertian grammar di sini adalah seperti yang dipakai di dalam paradigma
linguistik generatif transformasional (yaitu, meliputi fonologi dan semantic juga), bukan seperti yang dipakai di dalam paradigma linguistik struktural (yaitu, terbatas pada morfologi dan sintaksis saja).
Istilah "pragmatik" sendiri, sebagai bidang kajian di dalam ilmu linguistik, diberi batasan yang berbeda-beda oleh pakar-pakar linguistik. Namun, dari batasan-batasan yang berbeda-beda itu dapat ditelusuri adanya dua tradisi pragmatik, yaitu tradisi Anglo-Amerika dan tradisi kontinental (Levinson 1983:5). Yang pertama itu lebih terbatas dan lebih erat kaitannya dengan apa yang secara tradisional menjadi bidang kajian linguistik seperti struktur kalimat dan tata bahasa. Yang kontinental itu lebih luas dan meliputi analisis wacana, etnografi komunikasi, beberapa aspek psikolinguistik dan bahkan kajian tentang kata sapaan (Fasold 1984:119). Bagaimana pun, salah satu batasan pragmatik yang berterima oleh para pengikut kedua tradisi itu adalah bahwa bidang ini adalah bidang di dalam linguistic yang mengkaji maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan itu. Makna kalimat dikaji di dalam semantik, sedangkan maksud atau daya (force) ujaran dikaji di dalam pragmatik. Sebagai contoh, bahwa kalimat Saudara daftar berbahasa Belanda? bermakna penanya ingin tahu apakah yang ditanya itu mempunyai kemampuan berbahasa Belanda, ini adalah bidang semantik. Bahwa ujaran "Saudara dapat berbahasa Bela'nda?" itu dimaksudkan oleh si penanya sebagai permintaan untuk menerjemahkan sebuah kata bahasa Belanda, misalnya, ini adalah bidang pragmatik.
Pragmatik antara lain memang mempelajari maksud ujaran atau daya (force) ujaran. Kita juga dapat mengatakan bahwa pragmatic juga mempelajari fungsi ujaran: untuk apa suatu ujaran dibuat atau dilakukan. Atau dasar ini dapat kita katakan bahwa pragmatik itu termasuk ke dalam fungsionalisme di dalam linguisik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, satuan analisisnya bukanlah kalimat (karena kalimat adalah satuan tata bahasa), melainkan tindak ujaran atau tindak tutur (speech act). Sebagaimana tindak ujaran bukan kalimat, ia juga tidak persis sama dengan ujaran. Dengan satu ujaran' "Saya haus" misalnya, sebenarnya kita melakukan dua tindak ujaran, yaitu memberitahu dan meminta.
Di dalam hal ini kita tidak memasalahkan maksud atau fungsi ujaran yang merupakan perpanjangan atau perluasan dari makna harfiah itu.Jadi, kalau dengan mengujarkan '"Saya haus" seseorang mengartikan "saya" sebagai orang pertama tunggal (yaitu si penutur), dan "haus" sebagai mengacu ke "tenggorokan kering dan perlu dibasahi", tanpa bermaksud untuk minta minum, misalnya, orang ini dikatakan melakukan lokusi. Mungkin saja orang itu sekadar mengujarkan sebuah baris dari sebuah puisi atau nyanyian. Sekadar tambahan, jika seandainya orang itu mengatakan "Haya saus", misalnya, ia tidak dapat dikatakan melakukan lokusi (setidak-tidaknya di dalam bahasa Indonesia) karena yang ia katakan itu tidak bermakna. Yang kedua, tindak ilokusioner atau ilokusi, adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara tentang maksud, fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, dan bertanya "Untuk apa ujaran itu dilakukan?"Jadi, "Saya haus" yang dimaksudkan untuk minta minum adalah sebuah tindak ilokusioner (atau ilokusi). Yang ketiga, tindak perlokusioner atau perlokusi, menurut Austin mengacu ke efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu.
Di sinilah ketakjelasan rumusan Austin itu. Lokusi dan ilokusi dikatakan sebagai tindak (act), sedangkan perlokusi dikatakan sebagai efek. Jika dikatakan bahwa perlokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan mengatakan sesuatu (Leech 1983:199), ini pun agak rancu dengan batasan ilokusi di atas karena bedanya hanyalah terletak pada dalam mengatakan sesuatu dan dengan mengatakan sesuatu. Sekadar untuk membedakan kedua jenis tindak tutur ini, ada kata-kata kerja yang menunjukkan bahwa tindak tuturnya dalah ilokusi (misalnya melaporkan, mengumumkan, bertanya, menyarankan, berterima kasih dan sebagainya) dan ada verba yang menunjukkan bahwa tindak ujarannya adalah perlokusi (misalnya membujuk, menipi, membuat jengkel, menakut-nakuti dan sebagainya). Masalahnya adalah bahwa ada verba yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah tindak ujarannya: ilokusi ataukah perlokusi. Ujaran "Saya haus" di atas, misalnya dapat juga berfungsi sebagai perlokusi.jika diucapkan oleh penculik anak, misalnya, untuk untuk menakut-nakuti anak kecil yang diculik setelah sebelumnya diberitahu bahwa jika dan bila haus, si penculik itu selalu minum darah. Satu petunjuk bahwa tindak ujaran itu adalah perlokusi ialah adanya efek dari tindak ujaran itu, yaitu bahwa di anak menjadi takut. Barangkali jika dikatakan bahwa perlokusi adalah tindak tutur yang dilakukan si penutur untuk menimbulkan efek (di benak interlokutor) dengan mengatakan sesuatu, pengertian perlokusi lebih mudah dibedakan dari pengertian ilokusi.
Yang penting disebutkan sehubungan dengan pengertian tindak ujaran atau tindak tutur itu adalah bahwa ujaran (entah berapa jumlahnya) dapat dikategorikan, seperti yang diutarakan oleh Searle (1975), menjadi lima jenis:
(1) respresentatif (kadang-kadang disebut asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya (misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan);
(2) Direktif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya: men)'uruh, memohon, menuntut, menyarankan, menantang)
(3) ekspresif, yaitu tindak ujaran yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam ujaran itu (misalnya: memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh) ;
(4) komisif, yaitu tindak ujaran yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya (misalnya: berjanji, bersumpah, mengancam); dan
(5) deklarasi (bukan deklaratif), yaitu tindak ujaran yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yangbaru (misalnya: memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, memberi maaf).

B. Pembahasan
1. Pengertian Pragmatik
Pragmatik adalah ancangan wacana yang menguraiakan tiga konsep (makna, konteks, dan komunikasi) yang sangat luas dan rumit. (Deborah S, 2007 : 268 ). Tidak heran bahwa lingkup pragmatik yang begitu liuas, sehingga pragmatik mengahadapi banyak dilema yang serupa dengan yang dihadapi oleh analisis wacana. Istilah pragmatik pertama-tama digunakan oleh filosof kenamaan Charles Morris (1938: (dalam Deborah 2007: 269)). Filosof ini memang mempunyai perhatian besar terhadap ilmu yang mempelajari system tanda (semiotik). Dalam semiotik ini, dia membedakan tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik. Sintaktik mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik mempelajari hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan antara tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain. Berbeda dengan Charles Morris, Carnap (1938) seseorang filosof dan ahli logika menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak tertentu yang menunjukkan pada agents. Dengan perkataan lain, pragmatic mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda dengan pemakai tanda tersebut. Selanjutnya, ahli lainkan Montague mengatakan bahwa pragmatic adalah Studi yang mempelajari idexical atau deictic. Dalam pegertian yang terakhir ini, pragmatic berkaitan dengan teori rujukan/deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakainya.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson antara lain mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu.
Pragmatik berhubungan dengan pemahaman terhadap hal-hal di luar bahasa (Kushartanti 2009 : 105). Di dalam suatu interaksi verbal akan menjadi janggal jika pembicara dan lawan bicara tidak mengungkapkan hal yang selaras atau sesuai konteks.

2. Fungsi Pragmatik

Fungsi dari pragmatik adalah memahami hal-hal di luar bahasa yaitu membantu kita dalam mengamati bahasa untuk memahami posisi sosial. Namun, hal-hal yang dibicarakan tersebut berhubungan dengan hal-hal di dalam bahasa. Pragmatik juga berkaitan erat dengan makna. Pragmatik dapat membantu memecahkan problem interpretasi tuturan yang bergantung pada penilaian kontribusi dari berbagi jenis konteks untuk penginterpretasian tersebut. Pragmatik juga berfungsi untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai sehingga kalimat-¬kalimat tersebut dapat dimaknai. Pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan.

3. Penerapan Pragmatik dalam masyarakat sosial
Dari fungsi pragmatik sendiri dapat kita tarik simpulan bahwa ilmu pragmatik
adalah sebuah terapan untuk memaknai suatu hal secara harfiah. Pragmatik dimaksudkan menjadi sebuah sarana tak tertulis untuk berkomunikasi dalam masayarakat sosial. Hal tersebut ditujukan agar masyarakat lebih memahami tentang apa yang dipaparkan oleh pelaku tutur kepada lawan tutur. Ada banyak hal yang berkaitan dengan penelitian pragmatik diantaranya, iklan (sebagai penelitian tertulis), bahasa dalam keluarga dan bahasa yang digunakan oleh masyarakat.
Contoh : a. . iklan di lepi tugas mamaz
b. menganalisis percakapan dalam keluarga
Dalam sebuah keluarga yang memiliki komunikasi yang kurang ternyata membuat anak mengalami penyimpangan, hal tersebut dikarenakan nilai pragmatik tidak berfungsi dengan baik. Yang artinya nilai pragmatik sangat erat hubungannya dengan psikologi seseorang. Jika nilai pragmatik dinilai dengan baik, maka kejiwaan seseorang terbangun dengan baik. Misalnya, ada sebuah keluarga dimana anaknya menyalahgunakan obat terlarang. Itu adalah buah kesalahan dari orangtua yaitu, kurang adanya komunikasi dengan anak. Proses komunikasi antar orangtua dengan anaknya yang menyimpang dapat digambarkan sebagai berikut :


DISTANCE CLAIM Dipertanyakan

ACCOUNT ditolak / dipertanyakan ditolak CLOSENESS CLAIM

Ditolak SCPAEGOATING ACCOUNT

DISTANCE CLAIM ditolak


Ditolak CLOSENESS CLAIM
Dst......dst

Keterangan : alur dimulai dari distance claim yang merupakan suatu pernyataan verbal atau gerakan fisik yang menunjukan posisi ssial seseorang secara rellatif dalam hubungannya dengan orang lain. Distance claim adalah sebuah posisi sosial dimana subyek menjauhi posisi orang lain. Closeness claim adalah kebalikan dari distance claim yaitu, posisi sosialnya mendekati obyek.
Account adalah pernyataan verbal yang menjelaskan adanya gangguan hubungan interpersonal karena perilaku yang tidak dikehendakinya. Pertanggunjawaban atas sebuah keadaan yang terjadi setelah proses pragmatik tidak berjalan lancar.
c. Bahasa dalam masyarakat
Bahasa yang beredar dalam masyarakat sangat beragam hal itu dikarenkan Indonesia memilki berbagai macam etnis, suku dan budaya. Setiap bahasa memiliki karakteristik masing-masing itu juga menunjukan kepribadian dari masyarakat tersebut. Misalnya saja bahasa dari masyarakat Jawa. Bahasa masyarakat Jawa memiliki tingkatan unggah-ungguh atau dalam bahasa Indonesia tingkatan santun. Bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan ngoko, krama alus dan krama inggil. Ngoko untuk lawan tutur yang memiliki tingkatan umur setara dengan pelaku tutur, krama alus untuk lawan tutur yang memiliki jabatan yang lebih tinggi dan krama inggil digunakan untuk lawan tutur yang lebih tua umurnya. Dalam masyarakat Jawa juga berlaku sindiran yang secara tidak langsung, biasanya saat orangtua memperingati anaknya. Soalnya adalah mengapa justru sindiran mengancam muka positif. Keterangannya adalah sebagai berikut. Di dalam bahasa Jawa, misalnya, ungkapan (idiom) yang dipakai sebagai padanan menyindir (nyemoni) adalah nggutuh lor hena kidul (' mernukul utara kena selatan' ) . Secara harfiah, ungkapan ini berarti bahwa untuk memukul sesuatu yang berada di sebelah selatan, penutur harus "pergi" ke utara lebih dahulu. Karena ia harus ke utara lebih dahulu, jarak yang ditempuhnya menjadi lebih panjang. Di dalam kepustakaan sosiolinguistik, penjauhan jarak sosial seperti itu disebut distancing, dan fungsinya adalah untuk mengurangi solidaritas atau kearaban, seperti yang terjadi misalnya jika seorang gadis Jerman, yang selama ini menggunakan tu kepada pacarnya, tiba-tiba berubah menggunakan Sie. Pengurangan solidaritas di dalam hal ini bermakna bahwa penutur kurang menunjukkan kesatuan positif karena, menurut Brown dan Levinson, salah satu strategi untuk menjaga muka positif muka positif dengan menggunakan "any of the innumrrabLe ways to coney ingruup membership" (1978:112) (penekanan tambahan penelitian).
Yang dapat diinferensikan dari perbedaan-perbedaan keperingkatan itu adalah bahwa masalah kesantunan memanglah spesifik kebudayaan (culture specific), anggota suatu masyarakat kebudayaan tidak sebagai tolok ukurnya. Ada masyarakat kebudayaan yang terbiasa dengan direktif langsung atau sedikit tak langsung. Ada pula masyarakat yang mengartikan ketaklangsungan yang berlebihan itu sebagai sindiran dan karena itu tidak santun.





BAB III
PENUTUP

Tolak ukur mutu sebuah penelitian adalah kemaknawian yang mendukung kemaknawaian penelitian adalah bobotnya dan bobot diukur dari sumbangannya kepada ilmu yang dimilki oleh lawan tutur menggunakan teori yang ada, sehingga semua yang dipaparkan dapat disampaikan dengan baik. Dalam hal ini dibutuhkan ilmu pragmatik. Pragmatik bukan hanya ilmu terapan yang dipakai untuk meberi makna bahasa, tapi juga pragmatik dapat digunakan untuk berbgai macam hal.
Tulisan ini ditutup dengan sebuah saran agar orang-orang menggunakan ilmu pragmatik untuk segala hal karena ilmu pragmatik adalah pemantik dimana bahasa itu tercipta.



















DAFTAR PUSTAKA

Kushartanti. 2009. Pesona Bahasa “langkah Awal Memahami Linguistik”.PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta
Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. Pustaka Pelajar : Yogyakarta
Kaswanti Purwo, Bambang. 1994. PELLBA 7. Lembaga Bahasa UNIKA Atma Jaya : Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar