Ingatkah kapan terakhir kali kita mendapat pujian?
Apa yang orang lain puji dari diri kita?
Bentuk fisik kita yang cantik atau tampan?
Nilai ujian yang memuaskan?
Atau pekerjaan yang baru saja kita dapatkan?
Lalu, bagaimana perasaan kita ketika mendapatkan pujian tersebut?
Saya yakin ada perasaan tersanjung, terharu, terhormat, senang, gembira, atau cukup membalas dengan senyuman saja. Sebagian besar orang merasa suka ketika orang lain memuji kondisi hidup kita. Itu wajar. Secara psikologis, memang manusia cenderung memilih informasi yang menyenangkan mereka. Lagipula, kesan positif dari orang lain terhadap seseorang turut pula membentuk konsep diri yang positif. Sehingga orang tersebut memiliki kepercayaan diri dan motivasi positif dalam hidupnya. Dalam konteks jiwa yang senantiasa berkembang, pujian memang diperlukan untuk meyakinkan jiwa tahap awal agar mereka bersemangat di di bumi, sekolah kehidupan.
Dalam praktik komunikasi antarmanusia, pujian adalah jurus terjitu mempengaruhi orang. Jika ingin dapat pacar, sering-seringlah merayu dengan ucapan, “kamu cantik sekali.” Bila sedang menghadapi birokrasi, perhatikan hal detil dari penampilan petugasnya dan sanjunglah. bicaralah hal-hal personal seperti dari mana asalnya, berapa anaknya atau apa klub sepakbola favoritnya. Rupanya jurus ini dipahami benar oleh Nabi Muhammad. Baca hadisnya, perhatikan kalimatnya. Niscaya akan kita temukan betapa sering Nabi memuji keunggulan suatu kaum yang datang kepadanya.
Namun bagi jiwa yang benar-benar memperhatikan perjalanan jiwa, pujian sangat mungkin adalah ujian. Ujian tentang kerendahhatian. Bahwa sebagai yang tercipta, manusia adalah entitas yang sangat lemah, tiada berdaya dan selalu bergantung pada sang Pencipta. Sedikit saja manusia itu lengah, maka pujian yang datang itu dengan mudah melenakan kesadaran, membuat manusia bangga diri.
Bangga diri adalah salah satu penyakit hati. Penyakit hati yang apabila dibiarkan akan terus menggerogoti hati kita. Hati-hatilah dengan perasaan bangga diri. Virus bangga diri ini sangat halus sekali sampai sampai kita tidak menyadarinya. Ia tiba-tiba ada dalam hati kita. Kita merasa dengan tidak mengatakan /memamerkan kelebihan kita di hadapan orang, itu bukti bahwa kita tidak berbangga diri. Padahal sebaliknya, Orang yang mengakui dirinya tidak sombong, itulah sebenar-benarnya orang sombong.
Dalam bentuknya yang samar, perasaan bangga diri (ujub) dapat berwujud sebagai perasaan bahwa apa yang kita peroleh adalah semata-mata usaha kita. Bila sudah begitu, kita tidak bisa (atau lebih tepatnya tidak mau) menerima kegagalan apapun dalam hidup kita. Mereka merasa sudah bersabar atas cobaan Tuhan, lalu menuntutNya agar menuruti keinginannya. Mereka sembahyang, berderma, dan berbuat baik kepada sesama. Lalu atas segala ‘perbuatan baik’nya mereka merasa sudah seharusnya mendapatkan segala yang mereka angankan. Jika tidak, mereka menganggap Tuhan berlaku tidak adil. Mereka merutuk, marah, dan berontak pada Tuhan. Mereka lupa pada kalimat yang selalu mereka baca, “Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.” Bahwa tiada puja yang pantas, tiada puji yang lestari, kecuali kepunyaan Allah.
Pujian juga bisa membuat kita merasa sempurna. Ini yang sering kali menggelincirkan orang-orang yang berjuang menuju Tuhan. Bertahun-tahun menjalani ritual, ikut thoriqoh A, B, C, bahkan menjadi pengkhotbah di berbagai tempat. Bisa dikatakan pencapaian religiusitas mereka sudah tinggi. Namun mereka gagal di ujian terakhir. Mereka menganggap diri mereka lebih baik, lebih suci, lebih taqwa daripada pelacur yang terpaksa melacurkan diri karena himpitan ekonomi, atau kuli pasar yang mandi peluh seharian demi menafkahi istri dan anaknya. Akhirnya mereka merasa sempurna di hadapan Tuhan dan gagal meraih puncak pengalaman spiritual, menyaksikan Wajah Tuhan. Padahal bukankah hakikat kemanusiaan justru terletak pada ketidaksempurnaan kita?
Jauh sebelum menjadi Nabi, Yusuf muda harus membayar mahal atas perasaan bangga dirinya. Kata sohibul hikayah, Yusuf adalah orang tertampan nomer 2 setelah Muhammad SAW. Pernah suatu ketika, Yusuf mematut diri di depan cermin. Lamat-lamat ia memandangi keelokan parasnya. Entah sadar entah tidak ia berkata pada dirinya sendiri, “wajah setampan ini, kalau dijual kira kira laku berapa ya?”
Do you all guys know how Allah taught him about being humble? He turned him as no value more than a slave.
Akibat iri dengki saudara-saudara tirinya, Yusuf dibuang di dasar sumur di tengah gurun pasir. Lalu Yusuf ditemukan oleh rombongan pedagang yang kemudian menjualnya di Mesir, dengan harga murah.
“Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf” (Q.S. Yusuf: 20)
Setelah bertahun-tahun, Yusuf kembali menerima ujian berupa pujian. Ayat 31 merekam fragmen tersebut,
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya, dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”
Bisakah kita membayangkan ketampanan atau kecantikan seseorang
diambil dari maulinniam